Mereka yang (Katanya) Dibayar

Tiga orang remaja berseragam sekolah menengah atas (SMA) terlihat kebingungan. Mereka memilih duduk sebentar di separator Transjakarta di depan pintu Hotel Sultan yang berada di Jalan Gatot Soebroto, Jakarta Pusat.

Salah satu dari mereka meminjam korek untuk membakar rokok. Sekadar membuat pikiran tenang setelah digempur gas air mata dari aparat kepolisian yang berjaga mengamankan jalannya demonstrasi di depan gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada 30 September 2019.

Tembakan gas air mata yang membabi buta dari Polisi membuat mereka terpisah dengan dua teman yang lain. Ketika hari mulai gelap dan aparat keamanan sudah tak lagi bisa mengontrol sikap, mereka lantas panik mencari dua teman yang terpisah.

Mereka berlima datang dari salah satu SMA di kawasan Pasar Rebo, Jakarta Timur. Tujuannya untuk meramaikan massa yang menggelar demonstrasi di depan Gedung DPR.

Tak sampai dua menit tiga anak SMA itu duduk di separator Transjakarta. Mereka langsung pamit pergi lagi agar bisa mengejar dua temannya yang kebetulan sebelumnya berjalan melewati saya.

“Kalau udah ketemu langsung pulang aja ya. Suasananya udah gak bagus,” ujar saya.

Ada kelegaan yang tersirat dari jawaban mereka. “Iya, Bang. Makasih banyak ya, Bang.”

Jangan Kerdilkan Mereka

Mereka memang masih SMA. Tapi, untuk datang ke lokasi demonstrasi yang beberapa hari sebelumnya menyebabkan banyak korban luka, tentu bukan cuma nyali yang mesti dimiliki. Pasti ada dalam pikiran mereka tujuan untuk melakukan perlawanan.

Anak SMA/STM memang menjadi primadona sepanjang Jakarta marak akan demonstrasi menolak Undang-Undang KPK dan RKUHP. Puncak aksi demonstrasi mereka kerap berujung dengan pertikaian dengan aparat kepolisian.

Para petinggi kepolisian menuding para anak SMA/STM ini hanya korban provokasi. Mereka bahkan dicap sebagai massa bayaran yang memang ditujukan untuk membuat negeri ini tidak kondusif.

Namun, keterangan itu tidak masuk akal. Siapa yang mau nekat cuma karena uang Rp40 ribu lantas disuruh ribut dengan polisi bersenjatakan lengkap? Belum lagi risiko kena pentung, tendang, dan ditahan.

Adakah kemungkinan melihat fenomena ini dari segi hilangnya kepercayaan publik kepada kepolisian? Beberapa dari mereka bisa saja pernah menjadi korban ketika sedang berkumpul bersama geng motornya atau komunitas suporter sepakbola. Kedua kelompok yang kerap terlibat perselisihan dengan aparat kepolisian.

Jangan-jangan ada dendam yang tersimpan karena pernah ditendang saat ada razia geng motor. Atau bisa jadi mereka korban gas air mata buntut kericuhan di luar stadion usai tim kebanggaannya kalah. Bisa jadi lebih parah, kepala bocor dihantam pentungan. Cerita yang sering kita dengar bukan?

Introspeksi itu penting, ketimbang cuma melontarkan narasi tidak masuk akal. Jangan sampai dendam yang ada semakin mengendap, karena efeknya akan lebih mengerikan.

Tentang Riki Ilham Rafles

Bek sayap kanan yang suka membantu serangan dalam diam.
Pos ini dipublikasikan di Uncategorized. Tandai permalink.

Tinggalkan komentar