67 Tahun Kemerdekaan: Kejahatan Tak Juga Terungkap

Sebelum kita bersuka cita merayakan hari kemerdekaan Indonesia yang ke-67, ada baiknya jika kita mengingat kembali beberapa kejahatan yang dilakukan negara pada masa lalu. Kebetulan baru-baru ini ada sebuah lagu yang bisa dijadikan semacam alarm dari Efek Rumah Kaca yang berjudul Hilang, begini penggalan lirik lagu tersebut;

Rindu kami/ setegak besi/ hari demi hari menanti// tekad kami/ segunung tinggi/ takut siapa semua hadapi// yang hilang/ menjadi katalis/ di setiap kamis/ nyali berlapis.

 Kejahatan kemanusiaan sepertinya sudah menjadi kebiasaan di negara ini, dimulai pada tahun 1965, dimana jutaan orang yang di cap sebagai anggota maupun simpatisan PKI, dibunuh dan dibuang ke pulau Buru. Dan kemudian menyusul berbagai macam pelanggaran hak asasi manusia, mulai dari kasus tanjung priok, penculikan aktivis pada tahun 90-an, dan yang baru-baru ini terjadi di Ogan Ilir.

Pemerintah seperti takut akan kebebasan, sebagaimana yang dimaksudkan oleh Paulo Freire dalam buku-nya Pendidikan Kaum Tertindas, “Ketakutan akan kebebasan yang tidak disadari oleh mereka yang mengidapnya, membuat seseorang seperti melihat hantu. Sama halnya seperti seseorang memilih cara menghindar agar memperoleh rasa aman”. Kebebasan dalam iklim demokrasi setelah orde baru tumbang tidak pernah dimanfaatkan untuk membongkar dosa-dosa lama terhadap rakyat. Dan yang lebih menyedihkan ada pernyataan sebuah organisasi yang mendaku menjunjung pluralisme menganjurkan kepada pemerintah agar tidak meminta maaf kepada mereka korban kejahatan 65. Mereka mengatakan bahwa permintaan maaf kepada korban pembantaian 65-66 hanya akan mengungkit kembali luka lama dan itu dapat memberi jalan mereka yang ingin mendirikan kembali PKI. Akal sehat telah mati, dan kebenaran mengikuti dari belakang.

Tidak adanya kemauan untuk menyelesaikan kejahatan kemanusiaan yang telah lalu tentu saja menimbulkan pertanyaan. Mungkinkah mereka yang kini menolak atau menghindari penyelesaian kejahatan kemanusiaan juga memiliki peran akan kejadian-kejadian di saat itu atau daripada harus merasa bersalah kepada segelintir orang yang kejahatannya terbongkar maka lebih baik diam saja. Kemungkinan-kemungkinan yang ada selalu bisa dibenarkan, selama masih ada keengganan untuk menuntaskannya.

Bagi korban maupun keluarga korban, kejelasan siapa yang bersalah dan siapa yang tidak bersalah menjadi satu hal yang penting. Setidaknya mereka bisa meluruskan sejarahnya sendiri, tanpa harus pasrah menerima apa yang telah menimpa mereka.

Selama para pelaku kejahatan kemanusiaan dibiarkan duduk tenang melupakan dosa-dosanya di masa lalu maka ancaman terjadinya kasus serupa bisa menimpa siapa saja di negara ini. Maka memaksa pemerintah untuk menghukum mereka yang melakukan kejahatan kemanusiaan merupakan harga mati demi tegaknya demokrasi di negara ini untuk ke depannya.

Dan jika diizinkan, saya ingin menutup tulisan ini dengan menyitir kata-kata Soe Hok Gie; “penjahat kemanusiaan itu seharusnya ditembak mati di lapangan banteng!”

Tentang Riki Ilham Rafles

Bek sayap kanan yang suka membantu serangan dalam diam.
Pos ini dipublikasikan di Uncategorized. Tandai permalink.

Tinggalkan komentar